KECEWA
Malam itu kukira dia
adalah orang yang disediakan Tuhan untukku. Sampai pada suatu hari, dimana aku
bertemu langsung dengannya di deker Universitas Kesehatan Palu. Pada pertemuan
itu, yang tidak bisa kulupakan adalah senyum manisnya. Kalau boleh jujur, senyumnya
benar dapat mengalihkan duniaku. Hingga pada saat kita berpisah, hati ini masih
saja teringat senyum dan wajahnya dengan jelas.
***
Sepuluh, sebelas
sms-pun terus bergulir masuk di gadget kerenku. “Kamu lagi apa?”, “Sudah makan
belon?”, dll. Hingga pada sms extreme yang berisi :
Aku : Aku off dulu yah.. muuuuuaaacch.. :*
Dia : Iya.
Aku : Loh kok datar gitu.. cium dong!!
Dia : Maaf, bukannya GR, tapi aku sudah punya
pacar.
Aku : Tdk
membalas (dalam hati mendongkol)
***
Kita
bertemu seseorang untuk suatu alasan – katanya. Lalu, apa sebenarnya alasan
Tuhan mempertemukan kita kalau akhirnya tak bisa bersama? (pikirku kesal).
Bukannya egois atau terlalu mudah untuk jatuh cinta. Namun sejak awal bertemu chemistry itu ada di dia – entah apa itu
karena dia menawan atau lebih dari menawan.
Sejak
sms terakhir, belum ada satupun sms yang masuk di gadget kerenku ini walau
hanya sekedar menyapa. Kangen juga. Akhirnya kuniatkan diri ini untuk send message ke dia.
Aku : Hai. Kamu lagi apa?
Dia : Duduk aja. Kamu dimana?
Aku : Di rumah. Kenapa?
Dia : Entar sore aku ke rumahmu ya!
Aku : Iya boleh.
***
Waktu
menunggu terasa sangat lama. Serasa jarum detik jam di dinding tidak berfungsi
dengan baik. Jenuh dan membuatku setengah tak waras – gelisah menanti
kedatangannya. Di sela-sela menungu, waktu lebih banyak kuhabiskan di depan
cermin, entah kenapa dia memaksaku untuk tampil se-perfect mungkin atau mungkin juga ini karena kemauanku sendiri
dengan niat bisa membuat dia terpesona. Baju yang aku kenakan pun sudah 3 kali
aku gonta-ganti. Ini mungkin saja kesempetan besar bagiku untuk bisa lebih
dekat dengannya. Untuk itu, aku membuat contekan konsep yang hendak aku
sampaikan ke dia – diantaranya bahkan terdengar sangat konyol bahkan tak layak
untuk disampaikan. Contohnya seperti ini “kamu, kesini mandi gak?”, “kamu suka
kursi sofa atau kursi kayu?”, “kamu kalo makan pake sendok atau gak?” – sumpah,
ini benar-benar konyol. Bahkan ada beberapa kalimat gombal yang waktu itu aku
gak tahu dapet ilham darimana. Bunyinya seperti ini “kamu tuh menawan yah,
buktinya mukamu halus banget kayak awan dilangit – buju busyet dimana bagusnya.
Waktunya
pun tiba. Dia sekarang ada di depanku, menatapku dan tersenyum padaku (senyum
yang selama ini kurindukan – membuatku serasa melayang bahagia). Saat itu, tak
ada satupun kata yang keluar dari mulut kami, hanya saling menatap. Setelah
kami menyadari keheningan, akhirnya dia memutuskan untuk memulai perbincangan. Beberapa
patah kata diucapkannya dengan wajah yang serius. Memang sangat mengejutkan apa
yang diungkapkannya – dia adalah orang ke-3 dari hubungan cintanya. Katanya,
dia lebih memilih menjadi orang ke-3 karena pacarnya sangat baik dan sangat ia sayang.
Bodoh (pikirku). Ada saja orang yang mau jadi orang ke-3. Namun setelah
mendengar penjelasannya lebih jauh, aku akhirnya mengerti. Dia biliang, susah, kalau sudah terlanjur sayang, maka
kita akan melakukan apa saja demi orang yang kita sayang termasuk rela menjadi
orang ke-3.
Dia
sadar, dengan hubungannya yang seperti itu, pada akhirnya dia yang bakalan
sakit. Sakitnya tidak hanya sampai di hati tapi sampai ke pelosok tulang. Tapi
aku tak peduli (katanya lagi), aku tetap sayang. Kecewa dan bahkan marah mendengar perkataannya itu. Kenapa dia harus menceritakan ini semua
kepadaku. Lalu bagaimana denganku, rasa sayangku?. Penjelasannya membuatku
benar-benar lupa untuk menanyakan, “apa sebenarnya alasan dia menceritakan ini
semua kepadaku?”. Untung saja aku tidak merobek baju dan konsep yang sudah
matang kusiapkan tadi. Pikiranku memang seperti ini, masih terlalu labil untuk
dikatakan dewasa. Sakit juga kalau yang kita inginkan tidak sesuai dengan yang
kita dapatkan. Tapi mau bagaimana lagi.
Kecewa
menerima kenyataan ini - bayangkan saja, orang yang aku sayang ternyata telah
memiliki orang yang dia sayang dan orang yang dia sayang ternyata punya orang
lain yang dia sayang juga. Serasa rumus matematika serumit apapun bakal kalah
sama urusan yang berkaitan dengan hati. END
Komentar
Posting Komentar